“Ara…” sapa Aji, “hm.. ada waktu sebentar ga? Aku mau ngobrol bisa ga?”
“Eh, iya, Ji.. Kenapa ya?”
“Ehmmm… Kalo misal kita ketemuan gitu gimana? Ga enak ngomongnya kalo lewat telpon gini” Aji mengajak Ara ketemuan.
Ara bingung, dia menduga duga apa yang sekiranya akan Aji bahas.
Ara
mulai menebak, masalah dakwah minggu depan kah, masalah kunjungan panti
asuhan atau masalah sanitasi air di mushola yang agak terganggu.
Kembali Ara berpikir, ‘ah pasti tetang kunjungan panti asuhan’.
“Oh, iya, bisa, nanti aja sekalian di forum” jawab Ara atas ajakan Aji.
Memang, nanti ba’da ashar akan ada forum pembahasan tentang kunjungan panti itu.
Kunjungan yang akan diadakan 2 minggu lagi.
“M-misal…” Dana tertahan untuk melanjutkan kata katanya, “misal kita ngobrolnya setelah forum gimana?”
“Setelah
forum? Lho, mau ngobrol apa sih? Kalo emang ada kendala di divisi kamu,
mending diobrolinnya di forum aja” Ara belum tau apa yang sebenarnya
akan Aji utarakan, ia masih berpikir obrolan itu membahas kunjungan
sosial.
“Eh,
ya udah deh, lihat nanti aja.. sampe ketemu di sekre ya, Ara.. Hm.. Ara
janga lupa makan ya sebelum ke sekre, kan nanti kita butuh tenaga buat
berpikir..” mulai perhatian yang menjurus nampaknya.
“Iya, makasih ya… lhoo.. ehh… kok udah dimatiin, salamnya mana ya???” terheran si Ara ini.
Setelah
diskusi dalam forum usai, Aji menghampiri Ara yang sedang berjalan
keluar dari Gedung Student Center.. [lho.. kok tiba tiba udah selesai
acaranya?? Banyak banget yang di-skip?? Suka suka gue lah, pan gue yang
buat ceritanya..]
“Ara..” panggil Aji.
“Iya” jawab Ara.
Aji menghampiri Ara yang sedang duduk duduk di teras Student Center, hanya 3 meter dari temapt Dana berdiri.
“Eh, gimana, mau ngobrol apa?” Tanya Ara.
“Hm….”
Terbata Aji dalam mengutarakannya “G-gini Ara, aku mau ngomomng
sesuatu yang… yang gimana ya.. yah, sesuatu yang penting bagi aku, tapi
mungkin kurang berkenan di hati Ara”.
“Ya
udah deh, Ara.. Aku jalan dulu ya, nanti aku kabarin deh susunan
acaranya” kawan ara yang tadi duduk di samping Ara memilih untuk pergi
ketika tau gelagat Aji yang ingin ngobrol ‘in private’ dengan Ara.
Memang jelas terpancar di muka Aji kalau dia ingin mengutarakan sesuatu
4 mata, seolah matanya berkata ‘minggir lo… gue mau bicara serius ama
Ara’.
“Lha, kok gitu… Dibahas di sini aja deh, Shab..” cegah Ara saat Sherina meninggalkannya.
Ya, nama kawannya itu Sherina.
Aji mengambil langkah, ia duduk di bangku yang di tinggalkan oleh Sherina.
Spontan, Ara menggeser bangku itu sekitar 30 centimeter ke kanan.
“Gini,
Ara…” mulut tiba tiba kering, jantung berdebar, tangan berkeringat dan
guntur mulai menggelegar [yang terakhir itu Cuma bercanda] ketika Aji membuka mulut.
“Aku mau bilang sesuatu, sebenarnya ini sudah lama aku mau sampaikan, tapi aku masih ragu ragu.”
“Tentang
apa nih? Tentang lokasi panti yang mau kita kunjungi ya? Iya sih, aku
rasa panti itu udah cukup mumpuni, mereka aja punya mobil panti, kalo
menurut aku sih mendingan kita pilih panti yang benar benar
membutuhkannya.” Begitulah Ara, masih berpikir kalo ini akan membahas
kunjungan sosial.
Tersirat rona kecewa di wajah Aji.
“Bukan, bukan itu, Ra, yang mau aku omongin”
“Lantas?” Tanya Ara mulai penasaran.
“Aku di sini mau ngungkapin sesuatu..” ujar Aji, lirih…
“Sesuatu?”
“Iya, Ra.. Sesuatu dari hati”
“Eh, dari hati? Maksudnya apa, Ji?
“Maaf
sebelumnya” sembari mengeser posisi duduknya untuk lebih condong kearah kanan, menghadap lawan bicaranya. Ya, kearah Ara,dan nampak Ara
mulai terganggu dengan kondisi ini, tapi dia lebih memilih diam dan
mendengarkan apa yang akan Aji utarakan.
“Aku…”
“Aku menaruh hatiku ke kamu, Ra” akhirnya terucap juga kata kata yang telah Aji pendam sekian lama.
“Sudah lama aku menaruh hati ke kamu”
Tersentak, merasa dilecehkan, itu yang Ara rasakan.
Bukan kegembiraan, bukan bunga bunga yang ia lihat saat ini, tapi nyala api nun jauh di sana yang semakin mendekat.
“Aku tau ini salah, tapi musti bagaimana lagi, aku ga bisa terus terusan menahan rasa ini”
Terdiam kini keduanya.
“Aku ga bermaksud meminta kamu jadi pasanganku, aku hanya mengutarakan…”
Makin hening keduanya.
Dari api yang membara di ujung sana, kini telah berubah menjadi bunga sakura yang bertebaran..
Indah, harum dan menenangkan.
Itu yang Ara rasakan.
Bukan karena apa yang diucapkan Aji, tapi karena ada Abang Jual Batagor yang lewat.
“Aji, aku belum makan, aku mau beli batagor dulu. Sebentar ya..” kata Ara.
“Bang, batagornya seporsi dibungkus ya.. Sambelnya banyakin, ga pake kecap ya bang..”
“Iya, neng..” kata Abang itu menerima pesanan Ara.
Ara kembali ke tempat duduknya, sebelum duduk, ia kembali mengeser bangku itu kea rah kanan, menjauh dari Aji.
Bagaimana
dengan Aji? Dia masih membatu, bukan karena durhaka pada ibunya, tapi
karena dia tidak menyangka telah mengutarakan perasaannya.
“Aji…” kata Ara datar.
“Ya,
aku merasa tersinggung dengan apa yang sudah kamu sampaikan” kata Ara
tanpa memandang Aji, ia mengamati si Abang yang sedang meracik batagor.
[bukan berarti Ara suka sama Abang Batagor itu lho ya]
“Aku
tau itu pernyataan bukan pertanyaan, tapi itu akan menganggu ku Ji,
aku harap kamu ga mengingat apa yang kamu ucapkan tadi karena aku juga
ga akan mengingat kejadian ini.”
“Oh,
iya…” lanjut Ara “Jangan biarkan rasa itu ada, pangkaslah, pangkas
sekarang juga. Ingat saja keburukanku supaya kamu bisa menghilangkan
rasa itu”
“Lho, kenapa harus ku hilangkan rasa itu?” Tanya Aji…
“Emangnya ada yang salah sama rasa itu? Bukannya itu fitrah ya?”
“Rasa
itu memang fitrah, tapi apa kamu sudah berpikir dengan matang dengan
mengutarakan rasa itu? Apa kamu udah memikirkan dampaknya bagi kamu dan
orang yang bersangkutan?” masih memandang Abang Batagor Ara bicara.
“Jelas, Ara.. Aku sudah memikirkannya sejak lama” jawab Aji.
“Apa kamu sudah yakin pada rasa itu? Apa kamu yakin itu bukan nafsu?” tanya Ara.
“Rasa ini tulus, dari hati” Aji berusaha meyakinkan orang di depannya, Ara.
“Oh, ya sudah.. Terima kasih ya..” kata Ara, singkat dan ambigu.
“Sudah? Terus jawaban Ara?” Aji tercengan oleh respon Ara.
“Jawaban? Jawaban apa?”
“Jawaban dari apa yang sudah aku katakan..”
“Bukannya itu hanya pernyataan?”
“Tapi…” belum selesai kata katanya, Ara sudah menyela.
“Aji, tadi kamu bilang itu hanya pernyataan, jadi memang ga ada jawaban” jawab Ara.
“Nah, terbukti kan, kamu ada ambisi untuk meminta jawaban. Itu sungguh mengganggu” lanjutnya.
“Tapi, paling enggak kamu bilang apa yang kamu rasakan ke aku, mudah kan…” kejar Aji.
“Mudah? Aji, perasaan ini tidak semudah yang kamu lihat di tv. Tidak semudah
orang jatuh cinta pada pandangan pertama. Tidak sesimpel itu. Ini rumit”
jelas Ara.
“Apa
kamu sudah memikirkan betapa seriusnya ucapan itu? Itu sama halnya kamu
berkata ‘Ara, aku mau mengkhitbah mu’, begitu. Kalo memang seperti itu
adanya, jangan tanyakan padaku, tapi pada orang tuaku. Tapi kalo bukan
seperti itu yang kamu pikirkan, maka yang kamu rasakan itu hanya nafsu
belaka”
“Daripada terjadi fitnah, sebaiknya kita akhiri diskusi ini di sini. Maaf, aku harus pulang”
“Tunggu dulu, aku masih ingin bicara” cegah Aji saat Ara mulai berdiri.
“Maaf, aku harus pulang”
“Kenapa?” tanya Aji.
“Karena batagorku sudah jadi, aku mau makan batagor itu saat hangat di kost. Assalamualaikum”
Ara
berjalan menuju gerobak, membayar dan menuju parkiran motor. Beberapa
saat kemudian hanya punggungnya yang terlihat. Semakin mengecil dan
menghilang di kejauhan.
“Waalaikumsalam” jawab Aji ketika sosok Ara tak lagi terlihat.
Tamat..
Hiks… Hiks… Hiks…
Haru banget ya, coy... ceritanya..
Ga nyangka gue bisa buat cerita begitu..
[takabur mode active]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar